Selasa, 05 Mei 2015

Compani Profil

Kata Pengantar

Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang Karta Bumi Gunung Kidul merupakan seni pertahanan  yang menakjubkan. Dimana setiap gerakannya merupakan seni menguji waktu bertujuan untuk melatih tubuh, aliran energy, pikiran, dan bermanfaat untuk kesehatan, peningkatan kecerdasan, pertahanan diri, kesegaran mental,  juga sebagai sarana pengembangan spiritual dan penyembuhan tanpa memandang ras, kebudayaan maupun agama. Seni ini seringkali dideskripsikan secara keliru oleh kebanyakan kalangan, hanya sebatas sebagai “tarian atau senam pada umumnya” lantaran gerakannya yang lambat dan tampak kurang bertenaga. Asumsi seperti itu muncul karena kurangnya pemahaman tentang kedalaman dan dimensi seni tersebut. Orang cenderung melihat hanya dari sisi gerakan  tarian lembut yang menebarkan pesona keindahan dan kewibawaan. Padahal gerakan yang terlihat lembut layaknya gerakan tari itu adalah sebagai metode mengakses energy alam semesta untuk kesehatan, kecerdasan dan pertahanan. (di daratan china dikenal dengan Tai Chi yaitu  energy tertinggi)

Pada prinsipnya, Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang juga bertujuan untuk sarana pencapaian Rahmat Tuhan dan keseimbangan mental, peningkatan fisik, serta pengembangan tenaga internal atau aliran energy. Meskipun cakupan keilmuannya terasa sangat dalam dan luas, Pengetahuan Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang tidak bisa diprioritaskan satu per satu. Apabila ingin mendapatkan keuntungan yang menakjubkan, harus berlatih dengan benar dan konsisten. Sebab hanya memahami teori lewat buku atau tulisan tidak akan menjadikan seseorang sebagai praktisi cakra kembang yang kompeten. Pelatihan Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang menggunakan metode pelibatan energy, attunement cakra dan pengendalian pikiran, hal tersebut membutuhkan bimbingan seorang pelatih atau guru secara personal. Bagi para pemula disarankan untuk mendapat instruksi personal dari guru yang kompeten, sebab kesalahan umum yang sering terjadi pada murid adalah mempercepat pembelajaran mereka. Berlatihlah  menggunakan metode yang benar dan penuh kesabaran namun tidak membabi buta. Apabila seorang murid yang berlatih Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang secara rutin namun masih saja sakit-sakitan, lemah fisik, tidak cerdas, dan emosionalnya belum stabil atau lemah mental, berarti ia tidak bijak bahkan dianggap gagal dalam berlatih.

Arti penting dalam pengetahuan Cakra Kembang sebenarnya terletak pada aspek internalnya, bukan pada bentuk eksternalnya. Tekhnik dasar semua gaya dan jurus cakra kembang membantu kita untuk tetap sehat fisik dan mental, mampu mempertahankan diri dari berbagai pengaruh negatif. Mengacu pada filosofi air “ yang lunak mengatasi yang keras, mengalir bersama momentum lawan”. Materi pelatihan Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang merupakan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu warisan para leluhur atau nenek moyang diabad terdahulu yang hidup menyebar dibelahan bumi. Keilmuwan ini sudah diilmiahkan seiring dengan perkembangan jaman tanpa harus merubah konsep aslinya. Secara Ilmiah, pendekatan  inti pelatihan Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang merujuk pada teori limid matematika dan ilmu fisika.” 0 (nol) dikalikan bilangan berapapun hasilnya tetap 0 (nol). Contoh: 0 X 1.000.000=0. Dalam kondisi 0 (nol) ketidak terhinggaan,  sering disebut dengan fitrah atau tingkat kepasrahan, penyadaran diri terhadap Sang Pencipta Alam Semesta. Dalam kondisi ini seseorang akan merasakan kekuatan yang sangat dahsyat. Nol (0) disini merupakan sikap manusia untuk berlaku rendah hati, iman dan taqwa, merasa dan sadar bahwa tidak berdaya, sebab semua daya dan kekuatan yang dimiliki semata-mata hanya milik Tuhan. Menurut Fisikawan John Assaraf dan Murray Smith mereka memakai istilah Zero Point Field,”dimana ditingkatan paling kecil, pada suhu nol mutlak  semua bentuk energy yang kita kenal lenyap.Ternyata di tingkat ini bukan lagi energy, bukan juga ruang kosong. Dan kedua fisikiawan tersebut menyadari medan tersebut paling tepat disebut sebagai Medan Informasi, artinya sumber energy muncul dari samudera KESADARAN murni, dan dari KESADARAN inilah bisa berbentuk MATERI dan ENERGI.

Pelatihan Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang menekankan pada pikiran dan pengendalian emosi, sebab emosi dan pikiran mampu mempengaruhi apapun. Seperti yang pernah diungkapkan ilmuwan mancanegara Rebecca Marina dan Dr. Felici, hasil penelitiannya : “ Pikiran dan Emosi mengubah bentuk sel darah, dimana bentuk gerakan dan daya tahan sel darah berbeda beda sesuai dengan jenis pikiran dan emosi, saat darah diambil sample, sel darah pada saat kita kondisi berdo’a kepada Tuhan atau ingat akan Tuhan bentuknya sangat spesialis  jika dibandingkan yang lain. Yakni selnya kelihatan bercahaya dan tidak cepat mati”.

Bisa disimpulkan, meskipun Seni Beladiri ini bersifat klasik karena bersumber dari keilmuwan kuno warisan leluhur yang hidup pada jamannya terdahulu, ternyata memiliki kandungan makna dan manfaat begitu besar bagi kita, dan faktanya juga bisa diterima secara logika dan ilmiah oleh para pakar ilmu matematika dan fisika era modern. Sungguh adiluhung hasil karsa, karya, daya, dan cipta para leluhur kita, yang kemudian berhasil dirangkum menjadi satu kesatuan ilmu “Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang” Karta Bumi Gunung Kidul.

Sebagai penutup, puji syukur Kepada Tuhan Yang Maha Esa saya berharap agar keilmuwan Cakra Kembang dapat terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu, serta bermanfaat bagi semua umat manusia yang hidup di belahan Bumi Nusantara. Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terimakasih kepada almarhum Ki Hamung Suket Kesampar ( Ki Marto Dipuro), Eyang Parto Soman, Kyai Mukhbaran, Ki Mohammad Mukhorobin, Nyai Kusumastuti, juga Eyang Ki Ageng Suro Diwiryo, Ki Harjo Utomo, Mas Imam Supangat ( ketiganya guru besar Padepokan Setia Hati Terate),  Eyang Dwija Purwaka, Grand Master Eka Sugandha . Rasa terimakasih tak terhingga kepada tokoh spiritual yang saya temui dalam meditasi, Ki Simo Lasmin atau Ki Ageng Simo Potro,  lantaran bimbingan beliau semua  maka  keilmuwan   Cakra Kembang Karta Bumi Gunung Kidul menjadi sangat bermanfaat bagi tata kehidupan semua umat. Terima kasih pula kepada Abah Wagino (Ki Djaka Narendra) Ketua  Umum Paguyuban Suryo Mataram, KPH. Wijoyo Kusumo (Puro Pakualam)  Ir. Budi Puryanto, Suparyoto, Sumanto, Mardiyana,  Tugiman, Sumarna, Sumarno, seluruh murid saya, penasehat, pelindung, ketua cabang, pengurus, serta anggota Paguyuban Suryo Mataram yang selama ini mendukung dan memberikan sumbangsih secara moril.  Ucapan terimakasih juga kepada, istri dan anak anak terkasih saya, yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat demi terlahirnya  perguruan ini.

Biarkan kesabaranmu seperti  seribu gunung  dan sungai mengalir

Keberhasilan janganlah membawa perbedaan

Kegagalan juga tidak menyebabkan kesenjangan

Bersikap arif dan bijak tanggalkan kesombongan dan kelicikan

Pahamilah kesadaran dari dalam untuk tidak rakus demi ketenaran

Biarkan emosimu tenang seperti air di waktu senja



                                                 Perenging Gunung Kidul Yogyakarta

   Penulis

                                                              Sukma Mulandara

 
Arti dan Makna Lambang
·         Mengapa  Cakra Kembang disebut Seni Beladiri Klasik, sebab beladiri ini ada unsur keindahan dan keanggunan layaknya sebuah seni tari, namun didalamnya mengandung filosofi dan jurus jurus kuno yang bermanfaat untuk mempertahankan diri.
·         Cakra Kembang adalah Cakra-berarti pintu energi, Kembang-berarti bunga, secara umum cakra kembang diartikan pintu energy yang mekar bagaikan kembang atau bunga tunjung terate
·         Lingkaran ganda luar dalam dengan jari runcing masing masing berjumlah delapan ,berwarna putih dan keemasan melambangkan sebuah cakra atau pintu energy yang terdapat dalam diri manusia,berfungsi sebagai alat pengaksesan dan penyaluran beragam energi.
·         Lingkaran  warna keemasan identik dengan sinar matahari atau sang surya, ,melambangkan sikap bijaksana, welas asih, dan rela berkorban demi orang lain yang membutuhkan, Sesuai kodratnya matahari akan senantiasa memancarkan sinar sebagai penerang alam semesta
·         Sedangkan lingkaran berwarna putih melambangkan alam semesta .
·         Kembang Tunjung mekar berkelopak tujuh berwarna merah dan ditengahnya ada bulatan kecil warna putih diatas air. Kembang tunjung atau kembang terate melambangkan sebuah kearifan, keluhuran perilaku yang cenderung tenang dan bijaksana, serta memberikan kesejukan dan kedamaian terhadap sesama layaknya air. sesuai kodratnya, kembang tunjung mampu  hidup dimana saja termasuk diatas air, dimana air sendiri merupakan sumber dari kehidupan. Kelopak tujuh, melambangkan tujuh tingkatan keilmuwan cakra kembang. Warna merah melambangkan sebuah keberanian, sedangkan lingkaran putih kecil mengisyaratkan kesucian atau kebenaran. “Berani karena benar, takut karena salah”
·         Burung Cenderawasih warna merah api keemasan yang terbang posisi siap menerkam melambangkan sebuah keindahan, keanggunan, kelembutan gerak dan gaya jurus jurus Cakra Kembang. Namun dibalik semua itu menyimpan tenaga yang dahsyat bisa dipergunakan untuk bertahan dan membela diri. Warna bulunya merah api keemasan mengisyaratkan adanya unsur energy kehidupan.
·         Seekor Naga hijau posisi siap mencakar melambangkan sebuah kekuatan Kundalini dalam diri manusia. Kundalini adalah sumber segala energy dalam tubuh. Dimana kundalini mempunyai kekuatan dahsyat berfungsi untuk menggerakan seluruh organ tubuh manusia, baik secara fisik maupun mental spiritual. Diibaratkan, kundalini merupakan Seekor Naga yang sedang bertapa di dasar samudera, keberadaanyapun susah di jangkau, memerlukan perjuangan dan perjalanan panjang untuk bisa mencapainya.
·        Sepasang Harimau Hitam (Macan Kumbang) tubuhnya bersinar putih, sesuai kodratnya Harimau Kumbang hidup selalu berpasangan, dan binatang tersebut  terkenal cekatan, lincah dan mempunyai kekuatan fisik yang dahsyat dan insting yang tajam, digunakan untuk mencari mangsa agar bisa bertahan hidup. Pancaran sinar putih dari tubuh Macan Kumbang mengisaratkan adanya aura yang melindungi. Disimpulkan kita sebagai manusia meskipun mempunyai kekuatan  hebat layaknya Macan Kumbang sekalipun, namun kita harus tetap bersikap arif dan bijaksana, kekuatan yang kita miliki bukan untuk kesombongan, tapi digunakan  sebagai sarana untuk mempertahankan hidup. Sinar putih cerah melambangkan aura atau energy perlindungan, aura tersebut akan terus memancar terang dan tebal selama manusia berada dijalan kebaikan dan tidak menyalahi kodrat. ( Sepasang Macan Kumbang terilhami dari kemunculan sosok Ki Ageng Simo Potro di alam meditasi)
·        Tongkat lurus berwarna putih bertepi merah, melambangkan pegangan atau pedoman hidup, agar jalan kita tetap kuat dan tidak tersesat. Ketika manusia tidak mempunyai pegangan atau pedoman dalam menjalani tata kehidupan, niscaya akan dibutakan oleh segala hal yang bersifat semu, endingnya mengalami kesengsaraan. Putih menggambarkan kesucian, merah melambangkan warna hati. Bisa diartikan kita hidup haruslah tetap menjaga kesucian hati.
·        Tombak berwarna putih bergaris merah bermata runcing berjumlah ganda berdiri tegak lurus  menghadap keatas dan ke bawah, melambangkan tajamnya mata bathin,  kewaskitaan. Mata bathin dan kewaskitaan identik dengan spiritual. Sedangkan  mata tombak ganda  menghadap keatas dan kebawah, melambangkan hubungan antara hamba dengan Tuhan. Dalam konteks Menyatunya Hamba dengan Tuhan, atau dalam ajaran jawa dikenal dengan istilah“Manunggaling kawula klawan Gusti”.
·        Sedangkan Gunung adalah gambaran suatu pencapaian tertinggi,hijau merupakan warna daun melambangkan ketenteraman. Gunung berjumlah lima mempunyai arti lima pedoman hidup yang harus dijalankan oleh setiap manusia yang notabene sebagai hamba Tuhan. Percaya adanya Tuhan atau ber-agama, berbhakti kepada kedua orang tua dan menghormati guru, senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi segala tindak kejahatan, saling tolong menolong dan menjaga toleransi antar sesama, sikap  rendah hati dan tidak sombong, pencapaian tertinggi dalam kehidupan manusia adalah Kembali kepangkuan Tuhan dengan kondisi iman, serta yakin adanya Kharma (hukum sebab akibat)
·        Latar belakang berwarna biru melambangkan tujuh pertala langit, dimana diatas langit masih ada langit. Diibaratkan  Setinggi langit sekalipun kemampuan kita pasti masih ada yang lebih tinggi daripada kita,
·        Karta Bumi mempunyai makna, setiap anggota Cakra Kembang berkewajiban menjaga serta menciptakan kemakmuran bagi orang lain maupun dirinya sendiri, dimanapun bumi tempat kaki berpijak.
·        Gunung Kidul nama sebuah tempat atau wilayah yang berada dibawah Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan ditempat tersebut Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang lahir dan berdiri.
Ajaran, Motto, Visi dan Missi
Ajaran : Ingin memperoleh tujuan tertinggi memilih untuk mengalah agar melebihi kemenangan abadi dan kembali  pada  kehampaan tak terhingga, menggunakan kekuatan untuk bertahan bukan untuk agresi
Motto: Menang Tanpa Mengalahkan,  Mengalahkan Bukan Untuk Kemenangan
Visi: Menjaga, melestarikan, dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan warisan leluhur, serta meningkatkan kreatifitas tunas muda yang berkualitas dan bermartabat
Missi: Menciptakan keseimbangan sosial, agama, kesehatan, seni, budaya, dan pendidikan berdampak pada kerukunan antar umat manusia dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara Kesatuan Republik Indonesia
Idiologi        : Pancasila ,  Landasan      : Undang undang Dasar 1945
Panca Dharma
1.     Beriman dan bertakwa Kepada Tuhan
2.    Berbhakti kepada kedua Orang Tua, Guru, Bangsa dan Negara
3.    Menciptakan perdamaian dan kerukunan antar umat manusia
4.    Menjaga dan membangun citra perguruan atau organisasi serta mengembangkan keilmuwan ditengah kehidupan masyarakat
5.    Berjiwa kasatria, pantang menyerah, bisa membedakan benar dan salah

1
Sejarah Lahirnya Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang
Karta Bumi Gunung Kidul
Seni Beladiri  Klasik Cakra Kembang Karta Bumi Gunung Kidul merupakan gabungan  dari inti keilmuwan klasik dari berbagai aliran yang berada di seluruh belahan bumi nusantara, tidak mengherankan kalau didalam pengajaran gerak dan jurusnya sulit diprediksi oleh berbagai kalangan. Sebab mengandung beragam unsur gerak dan gaya  beladiri klasik dari berbagai sumber dan aliran asal  tanah jawa dan manca negara, diantaranya Pencak Majapahit, Pencak Mataram, Pencak Pasundan, Betako beladiri tangan kosong asal Jepang, Kungfu beladiri klasik berasal dari Cina, Rei Ki dari Tibet mempunyai makna energy  alam semesta, Tai Chi energy tertinggi berasal dari Tionghoa, Chi Kung atau Qi Gong Tionghoa Romawi berarti seni energy.
          Pada jaman kerajaan tempo dulu seluruh beladiri dari manca negara tanpa disadari tengah tumbuh berkembang di bumi jawa, bersama datangnya bangsa luar negeri dari berbagai ras. Tidak bisa dihindari kalau pada akhirnya beragam aliran beladiri tersebut  berbaur dengan bela diri pribumi, yaitu Seni Pencak Silat yang merupakan ilmu kanuragan untuk pertahanan diri.  Berbagai aliran beladiri manca negara, yang pada akhirnya tumbuh berkembang di tanah air, diantaranya, Betako (beladiri tangan kosomg) masuk bersama bangsa jepang dan belanda, lantas bangsa china, Tibet, dan Romawi mengajarkan kungfu, Rei Ki, Tai Chi dan Chi Kung, pada awalnya beladiri  manca tersebut hanya diajarkan khusus kalangan keluarga dan kerabat sendiri. Seiring perjalanan waktu, beladiri manca yang semula hanya  diajarkan di Vihara dan Klenteng dan tempat tempat tertentu, diajarkan pula diluar lingkup keluarga dan kerabat,  sebagai sarana untuk mengambil simpati dan memperluas pengaruh .  Hingga bangsa pribumi pada akhirnya tertarik dan belajar, lantas  beladiri adopsi tersebut dipadukan dengan seni beladiri lokal. Salah seorang bangsa pribumi yang berhasil menguasai teknik beladiri mancanegara adalah Ki Hamung suket Kesampar (Eyang Marto Dipuro),  kemudian intisari beladiri dan keilmuwan dari berbagai aliran tersebut  oleh Eyang Marto Dipuro digabung dengan seni beladiri asli pribumi. Dan terciptalah sebuah beladiri klasik yang anggun dan berwibawa “Tanpa Nama”. Siapakah  sebenarnya Marto Dipuro atau Ki Hamung Suket Kesampar itu, Eyang Marto Dipuro  terlahir dari kalangan rakyat jelata di kaki Gunung Bromo  Tlatah Majapahit pada tahun 1831 lampau, kesehariannya hanya menggantungkan hidup sebagai pencari kayu bakar dan rumput .Awalnya Marto Dipuro muda  berguru  ilmu  kebathinan atau kejawen kepada Ki Sastra Dimejo, seorang tokoh spiritual yang disegani pada masanya. Berangkat dari bekal ilmu yang dimiliki dari ki Satra tersebut,  Marto Dipuro mulai mengembara dan berguru ke berbagai aliran kanuragan  yang ada ditanah jawa dan pasundan. Setelah dirasa cukup menimba ilmu, maka dia mulai menjalankan amanah untuk menyebarkan dan mengajarkan kepada orang orang yang membutuhkan.
           Sekitar tahun 1863 oleh Ki Hamung Suket Kesampar, keilmuwan “tanpa nama” ini mulai diajarkan kepada orang lain sebatas bekal pertahanan dan perlindungan diri sendiri. Sedangkan metode pengajarannya dilakukan secara rahasia dan berpindah-pindah, Meskipun diajarkan secara sembunyi, namun penyebaran keilmuwan ini sudah meluas,selain diwilayah bumi Majapahit dan Mataram (Jawa bagian Timur dan Tengah) juga berkembang hingga ke wilayah luar jawa, diantaranya Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Murid Ki Hamung Suket Kesampar sebenarnya tersebar dimana-mana, namun kebanyakan dari mereka tidak ada yang melanjutkan pengembangan keilmuwan tersebut. Hanya ada seorang diantara sekian banyak murid Ki Hamung yang bernama Ki Parto Somo, secara diam–diam mulai mengajarkan keilmuwan tersebut, mulanya juga hanya diajarkan kepada kerabat terdekat. Namun lambat laun keilmuwan tanpa nama itu terus berkembang dan dipelajari secara umum. Beberapa murid yang setia mendampingi Ki Parto Somo antara lain, Kyai Mukhbaran, Mohammad Mukhorobin, Nyai Kusumastuti, Ki Dwija Purwaka. Murid murid setia Ki Parto Somo mengikuti jejak gurunya mengembangkan ilmu tanpa nama tersebut.  Seiring perjalanan waktu, pada Tahun 2011  keilmuwan tanpa nama ini sampai ke daerah Yogyakarta dibawa oleh salah seorang murid dari Mohammad  Mukhorobin dan Ki Dwija Purwaka, bernama Ki Sukma Mulandara. Oleh Ki Sukma Mulandhara keilmuwan tersebut awalnya diajarkan secara terbatas kepada beberapa orang yang kebetulan dikenal. Kemudian pada Tahun 2012  Ki Sukma Mulandhara bergabung dengan Paguyuban Suryo Mataram, lantas mengembangkan keilmuwan yang dimiliki lewat paguyuban tersebut. Keilmuwan tanpa nama yang diajarkan Ki Sukmo Mulandhara oleh ketua Paguyuban Suryo Mataram diberi nama Cakra Kembang berarti Cerdas Kreatif Berkembang, dikenal dengan  Seni Olah Pernapasan Cakra Kembang,  dalam aktifitasnya berlindung dibawah  Paguyuban Suryo Mataram. Awal  pengajaran  hanya menitik beratkan pada olah raga ringan dan pengaksesan energi untuk menunjang kesehatan dan peningkatan kecerdasan otak.
Selanjutnya Seni Olah Pernapasan Cakra Kembang, oleh Ki Sukma Mulandhara, Nyai Sudiarti, dan Ki Suparyoto diganti namanya menjadi Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang Karta Bumi Gunung Kidul, dimana dalam pengajarannya mempunyai cakupan sangat luas, selain untuk kecerdasan, kesehatan, dan penyembuhan, juga terdapat beragam gaya dan jurus  yang merupakan kombinasi dari berbagai aliran beladiri klasik atau tradisional. Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang Karta Bumi Gunung Kidul status kelembagaannya  berada dibawah naungan LEMBAGA CAKRA KEMBANG KARTA BUMI GUNUNG KIDUL, di prakarsai oleh, Ki Sukma Mulandara, Nyai Sudiarti, Ki Suparyoto, Ki Mardiyana, Ki Sumanto. Meskipun payung hukumnya terpisah dari Paguyuban Suryo Mataram, namun dalam aktifitasnya tetap sejalan dan tidak terpisahkan.
Pengajaran Seni Beladiri Klasik Cakra Kembang Karta Bumi Gunung Kidul selain  menggunakan keilmuwan klasik, juga memakai teori ilmu pengetahuan modern  bersifat ilmiah, keduanya dipadukan menjadi satu kesatuan. Adapun, Ki Sukma Mulandhara sendiri lahir dari tlatah  Bumi Majapahit,  yang kemudian memilih tinggal dan menetap di Bumi Kharta Dhak Sinarga Istimewa Yogyakarta .
          








Tidak ada komentar:

Posting Komentar